Monday, February 27, 2012

Wajah Bopeng Pendidikan Kita

Judul Resonansi ini sudah klise, sebab hampir setiap orang telah membicarakannya sambil mengeluh dengan nada putus asa. Dalam suasana Hari Pendidikan Nasional yang baru saja kita peringati, tidaklah salah barangkali jika yang klise ini kita sebut-sebut juga.

Wajah bopeng ini tidak hanya menimpa dimensi kualitas yang terus meluncur dengan tajam, tetapi kondisi fisik ribuan sekolah kita, negeri dan swasta, sudah banyak yang centang-perenang. Laporan TV sekitar Jakarta saja, misalnya, kepada kita memperlihatkan kondisi SD yang sudah tidak layak pakai, apalagi bila hujan mengguyur.


Di pelosok yang jauh tersuruk, keadaannya lebih menyedihkan lagi. Kita tidak tahu berapa puluh ribu sekolah kita yang sudah benar-benar berantakan, tetapi tetap saja dihuni, karena tidak ada pilihan lain, sementara para koruptor tetap saja gentayangan dalam petualangan mereka merampok kekayaan negara. Dalam seni rampok-merampok ini, kita cukup cerdik, tetapi culas.

Pendidikan dasar yang ''kacau-balau'' ini akan terus menggerogoti kualitas budaya bangsa ini, lambat tetapi pasti. Siapa yang tidak risau dengan fenomena semacam ini? Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa di antara tugas pemerintah negara adalah ''mencerdaskan kehidupan bangsa''. Di atas rumusan filosofis yang amat elok dan mendasar ini, mengapa dunia pendidikan kita tersia-sia?

Politik dan ekonomi pernah dijadikan panglima dalam proses pembangunan kita oleh rezim otoritarian, tetapi pendidikan tetap saja berpangkat kopral. Bagaimana mau cerdas, jika kita memang ternyata tidak sungguh-sungguh menangani masalah pendidikan nasional kita.


Wajah ini akan semakin menyayat hati ketika kita membaca berita tentang semakin bertambah panjangnya daftar anak-anak SD yang bunuh diri karena dililit kemiskinan yang ganas, tidak punya uang Rp 5.000 untuk bayar iuran sekolah atau beli buku tulis. Ini adalah fakta keras yang getir, tetapi jarang dikemukakan oleh anggota DPRD kita, lantaran sibuknya mereka menyusun APBD untuk menaikkan penghasilan per bulan mereka agar diperbesar, demi menutupi biaya kampanye.

Indonesia adalah sebuah negeri Pancasila dengan sila kelima berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebuah rumusan padat dan manis, tetapi selalu dikhianati dalam praktik. Mari kita akui secara jujur bahwa kita pada waktu dan situasi tertentu tidak jarang menampilkan perilaku kebiadaban.

Kita bahkan cukup mahir berbasa-basi, kata selalu elok, sementara laku kumuh, tetapi dibungkus oleh dalil-dalil transendental. Terjadilah keretakan yang parah antara kata dan laku sebagai cerminan dari sebuah bangsa yang tidak lagi mempedulikan nilai-nilai peradabannya, sekalipun sila kedua berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah kita masih kuat menyandang sila ini?

Bentrokan sosial yang berdarah-darah di berbagai daerah tetap saja berada dalam lingkaran sembuh dan kambuh, sehingga energi bangsa sering terkuras untuk hal-hal yang serupa itu. Masih beradab benarkah kita pada permulaan abad ke-21 ini? Ini di antara pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab, jika saja kita masih berharap punya masa depan yang lebih baik, cerdas, dan cerah.

Dari segi anggaran pendidikan, Tap MPRS XXVII/1966 telah menetapkan 25 persen dari APBN yang dikuatkan lagi baru-baru ini menjadi 20 persen. Tetapi, semuanya ini adalah keputusan di atas kertas, sementara yang dilaksanakan tidak pernah mencapai 7 persen. Pada tahap sekarang, sekitar 40 persen dari APBN kita sudah dialokasikan untuk bayar utang dan bunganya.

Jadi, sungguh berat beban yang harus kita pikul, sedangkan di sisi moral kondisinya sudah semakin ringkih dari hari ke hari. Kepemimpinan SBY-Kalla telah memukul genderang perang melawan korupsi, tetapi dalam pelaksanaannya sungguh sulit. Kata orang, koruptor dan aparat yang mengejarnya punya mentalitas yang sama.

Gebrakan yang dilakukan KPTPK akhir-akhir ini memang telah menyalakan seberkas sinar, tetapi mereka benar-benar memerlukan payung politik yang kuat dari Presiden. Dari rampasan terhadap hasil korupsi, negara akan dapat menaikkan devisa untuk tambahan APBN. Mungkin untuk tahun depan, perlu diumumkan bahwa sumber APBN juga berasal dari hasil pengejaran negara terhadap para koruptor.

Hasil rampasan negara terhadap harta haram ini tentu akan menjadi halal jika dikembalikan kepada rakyat, sebab merekalah yang punya harta itu, khususnya bila digunakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan gizi masyarakat kita. Akhirnya, tentu menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk terus bekerja dan berupaya menghilangkan secara berangsur wajah bopeng pendidikan bangsa ini yang mencoreng muka kita sekian lama.